APA ITU, FAKTOR dan STANDAR KOMPOS

Kompos merupakan bahan organik yang terdiri dari sisa-sisa tanaman, hewan, ataupun sampah-sampah kota yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan sebelum bahan tersebut di tambahkan ke dalam tanah. Menurut Dalzell, dkk,. (1987), bahan utama kompos dapat berupa sampah rumah tangga, daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, sekam, batang jagung, kotoran hewan, dan bahan lainnya terutama yang mudah busuk. Kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak terlalu tinggi, tapi jenis pupuk ini memiliki keistimewaan lain yaitu dapat memperbaiki sifat tanah, struktur tanah, daya menahan air dan kation-kation tanah (Hardjowigeno, 1995).
Menurut Gaur (1981) bahwa pengomposan merupakan metode yang aman bagi daur ulang bahan organik menjadi pupuk. Unsur-unsur yang terkandung dalam bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan diubah dalam bentuk yang dapat digunakan tanaman (menjadi tersedia) hanya melalui pelapukan (Millar et al., 1958).
Pengaruh penggunaan kompos terhadap sifat kimiawi tanah terutama adalah kandungan humus dalam kompos yang mengandung unsur-unsur makro bagi tanah seperti N,P, dan K serta unsur-unsur mikro seperti Ca, Mg, Mn, Cu, Fe, Na, dan Zn. Humus yang menjadi asam humat atau asam-asam lainnya dapat melarutkan Fe dan Al sehingga fosfat tersedia dalam keadaan bebas. Selain itu humus merupakan penyangga kation yang dapat mempertahankan unsur-unsur hara sebagai bahan makanan untuk tanaman. Kompos juga berfungsi sebagai pemasok makanan untuk mikroorganisme seperti bakteri, kapang, Actinomycetes dan protozoa, sehingga dapat meningkatkan dan mempercepat proses dekomposisi bahan organik (Syarief, 1986).
Pengomposan, menurut Yang (1997), merupakan suatu proses biooksidasi yang menghasilkan produk organik yang stabil, yang dapat dikontribusikan secara langsung ke tanah dan digunakan sebagai pupuk. Produk dari pengomposan berupa kompos (Harada et al., 1993), apabila diberikan ke tanah akan mempengaruhi sifat fisik, kimia maupun biologis tanah. Secara umum pengomposan aerobic menghasikan unsur C dalam bentuk CO2 dan pengomposan anaerobic menghasilkan unsur C dalam bentuk alkohol (CH3OOH).
Menurut Gaur (1981) menyebutkan seluruh faktor yang mempengaruhi pengomposan antara lain : nisbah C/N, ukuran bahan, campuran atau proporsi bahan, kelembaban dan aerasi, suhu, reaksi, mikroorganisme yang terlibat, penggunaan inokulan, pemberian kalsium fosfat dan penghancuran organisme patogen.
Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan
  1. Ukuran Bahan
Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah kompos dicincang menjadi bahan yang lebih kecil. Bahan yang kecil akan cepat didekomposisi karena peningkatan luas permukaan untuk aktivitas organisme perombak (Gaur, 1983).
  1. Nisbah Karbon-Nitrogen (C/N)
Nisbah C/N bahan organik merupakan faktor yang paling penting dalam pengomposan. Hal tersebut disebabkan mikroorganisme membutuhkan karbon untuk menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001) dan N yang berperan dalam memelihara dan membangun sel tubuhnya (Triadmojo, 2001). Kisaran nisbah C/N yang ideal adalah 20-40, dan nisbah yang terbaik adalah 30 (Center for policy and Implementation Study, 1992). Nisbah C/N yang tinggi akan mengakibatkan proses berjalan lambat karena kandungan N yang rendah, sebaliknya jika nisbah C/N terlalu rendah akan menyebabkan terbentuk amoniak, sehingga N akan hilang ke udara (Gunawan dan Surdiyanto, 2001).
  1. Kelembaban
Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme sangat tergantung pada kelembaban. Umumnya mikroorganisme dapat bekerja dengan kelembaban sekitar 40%-60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Kelembaban yang lebih tinggi atau rendah dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau tidak mati (Indriani, 1999).
  1. Temperatur Pengomposan
Pengomposan akan berjalan optimal pada suhu yang sesuai dengan suhu optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Menurut Murbandono (1993), suhu optimum pengomposan berkisar antara 35-55oC, akan tetapi setiap kelompok mikroorganisme mempunyai suhu optimum yang berbeda sehingga suhu optimum pengomposan merupakan integrasi dari berbagai jenis mikroorganisme.
Pada pengomposan secara aerobik, akan terjadi kenaikan suhu yang cepat selama 3-5 hari pertama. Menurut Center for Policy and Implementation Study (1992), suhu tinggi berfungsi untuk membunuh bibit penyakit (patogen), menetralisir bibit hama (seperti lalat) dan mematikan bibit rumput yang resisten.
Menurut Tiquia et al. (1996), 10 hari pertama pengomposan temperatur naik hingga mencapai temperatur maksimal 64-69oC selama hampir 4 jam. Fase termofilik dicapai pada temperatur 50oC, 44oC dan 38oC selama 21 hari. Kemudian temperatur turun hingga mendekati angka 30oC.
  1. Derajat Keasaman (pH)
Identifikasi proses degradasi bahan organik pada proses pengomposan dapat dilakukan dengan mengamati terjadinya perubahan pH kompos. Menurut Center for Policy and Implementation Study (1992), derajat keasaman (pH) yang dituju adalah 6-8,5 yaitu kisaran pH yang pada umumnya ideal bagi tanaman. Hasil dekomposisi bahan organik ini menghasilkan kompos yang bersifat netral sebagai akibat dari sifatsifat basa bahan organik yang difermentasikan. Pada pengomposan pupuk organic padat nilai pH pada hari ketiga berkisar dari 7,66-8,84 dan hari keenam berkisar dari 8,66-9,08 (Nengsih, 2002).
  1. Mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan
Pengomposan akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering ditambahkan ke bahan yang akan dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat proses pengomposan (Indriani,1999).
Populasi mikroorganisme selama berlangsungnya proses pengomposan akan berfluktuasi. Berdasarkan kondisi habitatnya (terutama suhu), mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan tersebut terdiri dari dua golongan yaitu mesofilik dan termofilik. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang hidup pada suhu antara 45-65oC. Pada waktu suhu tumpukan kompos kurang dari 45oC, maka proses pengomposan dibantu oleh mesofilik di atas suhu tersebut (45-65oC) mikroorganisme yang berperan adalah termofilik (Gaur, 1983 dan Center for Policy and Implementation Study, 1992).
Menurut Center for Policy and Implementation Study (1992), mikroorganisme mesofilik pada hakekatnya berfungsi memperkecil ukuran partikel zat organik sehingga luas permukaan partikel bertambah. Menurut Gaur (1983), bakteri termofilik yang tumbuh dalam waktu yang terbatas berfungsi untuk mengkonsumsi karbohidrat dan protein, sehingga bahan-bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat.
  1. Kualitas Kompos
Indonesia telah memiliki standar kualitas kompos, yaitu SNI 19-7030-2004 dan Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006. Di dalam standard ini termuat batas-batas maksimum atau minimun sifat-sifat fisik, kimiawi atau biologi kompos. Untuk mengetahui seluruh kriteria kualitas kompos ini memerlukan analisa laboratorium. Standardisasi penting untuk kompos-kompos yang akan dijual ke pasaran. Standard ini menjadi salah satu jaminan bahwa kompos yang dijual benar-benar merupakan kompos yang telah siap diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi tanaman, manusia, maupun lingkungan. Standar kualitas yang terkandung dalam kompos matang dapat ditingkatkan. Peningkatan kualitas kompos menurut Isroi (2008), dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain pengeringan, penghalusan, penambahan dengan bahan kaya hara, penambahan dengan mikroba bermanfaat, pembuatan granul, dan pengemasan. Standar kualitas kompos secara umum dipaparkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Standar Kualitas Kompos
Parameter MutuSatuanStandar mutu
Standar 1Standar 2*Standar 3
3
FisikWarnaHitam

Bau

Tidak berbauTidak berbauTidak berbau
Kadar air%55-65Max 50%
pH5.5-7.56.8-7.54-8
BiologiUji benihDapat
KimiaRasio C/N< 3510-2510-25
Total N%0.20.4
Total P%> 0.50.1< 5
Total K%> 0.30.2< 5
KTKmeq/100 g70
Logam%Sangat rendah
  1. Japan Bark Compost Association, JBCA 1993
  2. SNI 19-7030-2004
  3. KepMen No 02/pert/HK.060/2/2006
* Standar kualitas kompos yang digunakan sebagai pembanding
Daftar Pustaka
CPIS. 1992. Panduan Teknik Pembuatan Kompos dan Sampah: Teori dan Aplikasi. Center for Policy and Implementation Study (CPIS). Jakarta
Dalzell, H.W. 1987. Soil Management Compost Production and Use in Tropical and Subtropical Environment. Rome.
Gaur, A. C. 1981. Improving Soil Fertility through Organic Recycling : A Manual of Rural Composting. FAO/UNDP. Region Project RAS/75/004. Project Field.
Gunawan, A. & Y. Surdiyanto. 2001. Pembuatan kompos dengan bahan baku  kotoran sapi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan. 24 (3):1217.
Harada. Y., K. Haga, T. Osada. And M. Koshino. 1993. Quality of compost produce from animal waste. Japan Agricultural. 26 (4): 238-246.
Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta.
Indriani, Y. H., 2000. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta. Penebar Swadaya
Millar, C. E. , L. M. Turk, and H. D. Foth. 1958. Fundamentals of  Soil Sciences. 3rd ed. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Murbandono, H. S. 1999. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. IKAPI. Jakarta.
Nengsih. 2002. Penggunaan EM4 dan GT 1000-WTA dalam pembuatan pupuk organik cair dan padat dari isi rumen limbah Rumah Potong Hewan. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syarief, S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. PT. Pustala Buanam Bandung.
Tiquia, S.M., Tam, N.F.Y. and Hodgins, I.J. (1996). Microbial activities during composting of spent pig-manure sawdust litter at different moisture contents. Bioresource Technology (55):201-206.
Triadmojo, S. 2001. Kualitas kompos yang diproduksi dari feses sapi perah dan sludge limbah penyamakan kulit. Buletin Peternakan 25 (4):190-199.
Yang, S.S. 1997. Preparation of compost and evaluating its maturity. Agriculure and  Horticulture. Extension Bulletin No. 445, National Taiwan University.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ORGANISME PENGANGGU PADA TANAMAN PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA

UPACARA ADAT JAWA BEKAKAK GAMPNG YOGYAKARTA

MENANAMKAN RASA NASIONALISME